Monday, January 22, 2018

Pengertian Hadits Shahih

HADITS SHAHIH
A.    Pengertian Hadits Shahih
a.       Pengertian Menurut Bahasa
Kata Shahih الصحيخ dalam bahasa diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim السقيم  orang yang sakit. Jadi, yang dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat, bagus dan benar tidak terdapat penyakit dan cacat, juga dapat dipertanggungjawabkan.
b.      Pengertian Menurut Istilah
Merupakan suatu berita hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak ada cacat yang tersembunyi, dan pengertiannya tidak janggal.
هو ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
“Hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat (‘ilat).”
Adapun pengertian hadits shahih menurut beberapa ulama antara lain :
1.      Imam As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
2.      Syafi’i memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu: apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya, mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Dan rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam.
3.       Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai berikut:
·         Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi terakhir.
·         Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil dan dhobith,
·         Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
·         Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
c.       Pengertian Hadits Shahih (Kesimpulan Kelompok)
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil, yang sanadnya bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir (muttashil), para perawi dikenal sebagai orang yang dhobith (hafalannya sempurna), terhindar dari cacat dan pengertian janggal.
B.     Syarat Hadits Shahih
a.      Perawinya Adil
      Maksudnya adalah tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, berstatus Mukallaf  (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
      Dalam menilai keadilan seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
·         Keterangan seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat adil,  sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
·         Ketenaran seseorang bahwa ia bersifast adil, seperti imam empat Hanafi, Maliki, Asy-Syafi’i, dan Hambali.
      Khusus mengenai perawi hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya pun ditolak.
Seorang perawi dikatakan adil apabila memenuhi 5 unsur, yakni :
1.      Selalu memelihara kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Contohnya : menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
2.      Mampu menjauhi dari perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar.
Contohnya antara lain: syirik, durhaka kepada kedua orang tua, berbohong, berzina, dan lain-lain.
3.      Mampu menjauhi dosa-dosa kecil.
Contohnya seperti: berkata kotor, ghibah (menggonjang-ganjing), mencontek, jajan tanpa membayar (jajan nggabrul), dan lain-lain.
4.      Tidak melakukan perbuatan mubah (boleh) karena berakibat terkikisnya keimanan, harga diri, dan kehormatan.
Contoh : seorang mubaligh/ulama pada tengah malam “nongkrong” sambil “nge-HIK” di pinggir jalan, memakai sandal “selen”, kaos kaki diinjak “separo”.
Seorang perawi adil itu tidak mengikuti salah satu mazhab/aliran/faham yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat islam.
b.   Perawinya Dhobit
 Dari segi bahasa, kata dhabit memiliki beberapa pengertian. Dalam kitab lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur menjelaskan :
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ 
والظبط الشيئ خفظه باالحزم      
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش
            Sedangkan menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy, dhabit dapat dimaknai dengan sesuainya sesuatu dan tidak bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat pegangannya.
            Maksudnya masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan dalam dada maupun dalam kitab (tulisan). Perawi tersebut mempunyai ingatan yang lebih banyak daripada lupanya, dan benarnya lebih banyak daripada salahnya, serta paham akan isi kandungannya.
            Dhabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadits dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadits dari gurunya itu, ia akan menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya.
            Dhobith dalam dada ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia manerima hadits sampai meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, menurut para ulama, dapat diketahui melalui:
·         Kesaksian para ulama
·         Berdasarkan kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal kedhobithannya.
   Adapun pengertian dhabit menurut istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai format bahasa, antara lain sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
2. Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
3. Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain.
   Dari definisi di atas, kelihatannya memiliki versi dan format bahasa yang berbeda, namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki kesamaan. Intinya adalah seorang perawi yang mempunyai kekuatan hafalan yang sangat sempurna serta memahami isi kandungannya terhadap hadits-hadits yang diterimanya, semenjak ia menerima hadits tersebut semasa masih menjadi murid hingga menyampaikannya kepada orang lain yang jaraknya puluhan tahun.
   Ulama hadis umumnya tidak menerangkan argumen mendasar unsur kaedah periwayat bersifat dhabit. Mereka umumnya hanya mengemukakan berkenaan dengan pengertian Dhabit sebagai salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits.
   Macam Dhabit
Dhabit ini ada dua macam, yaitu;
1.  Dhabith shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadits itu kapanpun dan dimanapun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari gurunya secara spontan tanpa harus mengingat-ingatnya terlebih dahulu.
2.  Dhabith kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat untuk mencatat hadits atau khabar yang telah didengarnya dari salah seorang atau beberapa gurunya,  dengan dikoreksikan dengan kitab asli dari guru yang ia dengarkan haditsnya, atau diperbandingkan dengan kitab-kitab yang terpercaya keshahihannya. Dan ia memelihara bukunya dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadits-hadits di dalam kitab-kitab lainnya.
                Atau dapat juga diartikan seorang perawi yang mempunyai kekuatan hafalan yang sangat sempurna serta memahami isi kandungannya terhadap hadits-hadits yang diterimanya, semenjak ia menerima hadits tersebut semasa masih menjadi murid hingga menyampaikannya kepada orang lain yang jaraknya puluhan tahun. Hanya saja, ketika dia menyampaikannya kepada orang lain, dia menyerahkan buku hadits catatan pribadinya agar dapat dibaca, dipelajari, difahami atau disalin oleh para muridnya.

KESIMPULAN DLOBIT
            Dari pengertian kedua dhabit di atas, setelah dibandingkan satu sama lain dan dianalisa, maka penulis berkesimpulan bahwa Perowi Dlabitus Shodri dan Perowi Dlabitul Kitab adalah sama, artinya semenjak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain namun dari segi penyampaian kepada orang lain, perowi dlabitus shodri masih berada dibawah dlobitul kitab, karena dlabitus shodri hanya mengandalkan kemampuan daya ingatnya saja. Sedangkan dlabitul kitab selain mengandalkan daya ingatnya, beliau juga mengandalkan ingatan dalam kitab tersebut, seperti letak hadits pada halaman berapa, dsb.

Contoh Dhabit
·   Dlabitus shodri: (dalam hafalan, tidak bisa baca dan tulis).
·   Dlobitul kitab :  
   Qola muhtarom: ” kolo kula kelas kalih,kula kaliyan kakek kula klelegen     kelereng kalih karung; kula krejel – krejel, kakek kula krejot – krejot”.

c.       Sanadnya Muttashil
Pengertian sanad muttashil
            Muttashil secara bahasa berarti bersambung, sedangkan menurut istilah muhadditsin, muttashil berarti hadits yang sanadnya bersambung dari setiap rawinya, baik sampai kepada nabi atau sahabat. Hadits muttashil adalah hadits yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang diatasnya sampai ke ujung sanadnya.
            Maksudnya adalah tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
            Untuk mengetahui dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata kerja sebagai berikut;
·         Mencatat semua periwayat yang diteliti
·         Mempelajari hidup masing-masing periwayat
·         Meneliti kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat yang     terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau kasta-kata lainnya.
Contoh hadits bersanad muttashil :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ  مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
   Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.”
a.      Hadits itu tidak ber’illat (cacat)
      Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadits, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
      ‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadits yang munqati’ atau mursal.
b.      Tidak Syadz
       Maksudnya ialah hadits itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
      Menurut asy-Syafi’i, suatu hadits tidak dinyatakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah tersebut bertentengan dengan hadits yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat tsiqah.
      Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadits dari periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadits syadz secara terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
A.    Macam Hadits Shahih
 Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a.    Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih li Dzatihi” karena telah memenuhi  semua syarat shahih (sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang yang adil, dhabitnya sempurna, tidak ada syadz dan ilat yang tercela) dan tidak butuh dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ    ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك  
Artinya :
Diceritakan oleh Qutaibah bin Said, diceritakan oleh Jarir, dari Umar bin Qa’qa’i bin Syubramah, dari Abu Zur’ah, dari Abu Hurairah RA berkata : datang seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab, “Ayahmu.”

Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an maupun illat.
Contoh lain :
بُنِىَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ الْحَجِّ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ

Artinya :
Rasulullah SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhajji dan puasa bulan Ramadhan.” ( H.R Imam Bukhari Muslim)

b.    Shahih li ghairihi, yaitu hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi hadis maqbul), yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Berikut contoh hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.

Artinya :
Diceritakan oleh Abu Kurib, diceritakan oleh Abdah bin Sulaiman, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah RA berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda : “Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat (HR Bukhari Tirmidzy)

Hadis tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin ‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna, sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
     Dari sini dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul Asanid, yaitu rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid, ada yang mengatakan:
1)    Riwayat Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2)   Sebagian lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3) Imam Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata rantai emas).
B.     Tingkatan Hadits Shahih
            Hadits shahih, menurut ulama Hadits, memiliki beberapa tingkatan, yang satu tingkat lebih shahih dibandingkan tingkat di bawahnya. Dilihat dari kitab-kitab yang mengeluarkan Hadits-Hadits shahih tersebut, Hadits shahih terbagi menjadi 7 tingkat, sebagai berikut:
1. Hadits shahih yang disepakati/dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Ini adalah tingkatan Hadits yang paling tinggi.
2. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh al-Bukhari, namun tidak dikeluarkan oleh Muslim.
3. Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Muslim, namun tidak dikeluarkan oleh al-Bukhari.
4. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, namun mereka berdua tidak mengeluarkannya.
5. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja, namun beliau tidak mengeluarkannya.
6. Hadits shahih yang sesuai dengan syarat Muslim saja, namun beliau tidak mengeluarkannya.
7.  Hadits yang dishahihkan oleh imam-imam ahli Hadits selain al-Bukhari dan Muslim, yang tidak memenuhi syarat al-Bukhari dan Muslim, atau salah satu di antara keduanya. Ini berarti bahwa si pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi, guru-guru Bukhari Muslim, yang telah beliau sepakati bersama/yang masih diperselisihkan. Tetapi hadits yang ditakhrijkan tersebut dishahihkan oleh Imam hadits kenamaan. Misalnya hadits yang terdapat di shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan Shahih Al-Hakim. Ini adalah tingkatan Hadits shahih yang paling rendah.
Keterangan:
Sebenarnya al-Bukhari dan Muslim tidak secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat hadits shahih versi mereka. Syarat-syarat tersebut ditemukan oleh para ulama peneliti hadits al-Bukhari dan Muslim berdasarkan pengkajian, penelusuran dan penelaahan terhadap uslub-uslub yang digunakan oleh mereka berdua.
            Menurut  Dr. Mahmud ath-Thahhan, yang dimaksud dengan syarat Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) atau salah satu di antara keduanya adalah ditinjau dari para perawi yang meriwayatkan hadits di dua kitab tersebut atau salah satunya serta tata cara yang diambil oleh Syaikhan dalam meriwayatkan hadits dari para perawi tersebut.
Tingkatan Para Perawi
1. Di antara mereka Ats-Tsabt (yang teguh), Al-Hafizh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang saleh), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits). Yang mendapat predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan pegangan atas Jahr dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.
2. Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-’Adl dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafizh dan mutqin pada haditsnya. Demikian itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan dipercaya pribadinya.
3. Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, shaleh dan bertaqwa, tsabt namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama yang peneliti hadits masih menerimanya dan dapat dijadikan sebagai hujjah haditsnya.
4. Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, bertaqwa namun seringkali lalai, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab, sedangkan dalam masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan haditsnya.
5. Adapun orang yang nampak darinya kebohongan maka haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang.

C.    Kedudukan Hadits Shahih
            Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis mutawatir. Oleh karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
            Mengenai kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
"apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".

D.    Kitab-kitab yang memuat Hadis Shahih
            Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah
a.   Shahih Bukhari                       d. Shahih Ibn Hibban
b.  Shahih Muslim                        e. Shahih Ibn Khuzaimah
c.   Mustadrak al-Hakim
      Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih adalah:
a.   Shahih Bukhari                       e. Sunan an-Nasa’i     
b.  Shahih Muslim                        f. Sunan  Ibn Majah
c.   Sunan Abu Daud                    g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.  Sunan at-Tirmidzi
      Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:
a.   al-Muwattha’                                                                                     
b.  Shahih Bukhari                      
c.   Shahih Muslim
d.  Shahih Ibn Khuzaimah
e.   Shahih Ibn Hibban
f.   Al-Mukhtarah
G. Contoh Hadits Shahih
a. Dari Abi Abdurrahman Abdillah bin Umar bin Khattab ra. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw bersabda: "Bangunan Islam itu atas lima perkara Mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu Utusan Allah, Mendirikan Shalat, Mengeluarkan Zakat, Mengerjakan Haji ke Baitullah dan Puasa bulan Ramadhan." (Bukhari - Muslim)
b. Dari Abi Hamzah Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah saw dari Nabi saw telah berkata: "Tidak sempurna iman seseorang diantaramu hingga mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri." (Bukhari - Muslim)
c. Dari Ibni Mas'ud ra. telah berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "Tidak halal darah seorang muslim kecuali disebabkan salah satu dari tiga perkara: Duda/janda yang berzina, Pembunuhan dibalas bunuh, Orang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari jama'ah (murtad)." (Bukhari - Muslim)
d. Dari Abu Musa (Abdullah) bin Qais al-asy'ary r.a. berkata: Rasulullah saw ditanya mengenai orang-orang yang berperang karena keberanian, karena kebangsaan atau karena kedudukan manakah diantara semua itu yang disebut fisabilillah? Rasulullah saw menjawab, "Siapa yang berperang semata-mata untuk menegakkan kalimatullah (agama Allah) maka itulah fisabilillah." (Bukhari - Muslim)
e. Dari Abu Bakrah (Nufa'i) bin al Harits ats Tsaqafy berkata: Rasulullah saw bersabda, "Apabila dua orang Muslim berhadapan dengan pedang masing-masing maka pembunuh dan terbunuh keduanya sama-sama masuk neraka. Abu Bakrah bertanya, "Ya Rasulullah, yang membunuh jelas masuk neraka tetapi mengapa yang terbunuh juga demikian? Rasulullah saw menjawab, "Karena ia juga memiliki niat sungguh-sungguh akan membunuh lawannya." (Bukhari - Muslim)
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4 halaman18, Kitab Al  Jihad wa As Siyar, Bab Ma Ya’udzu min Al Jubni;
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ  مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
   Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah (ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab di neraka.”
g. Contoh :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَ ْلإِسْبَالُ فِى اْلإِزَارِ وَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَامَةِ, مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابو داود والنسائى)
Artinya:
"Diriwayatkan dari Ibnu 'Umar r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda: Memanjangkan kain, gamis, dan sorban ke bawah hingga menyentuh tanah, orang yang memanjangkan semua itu karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat". (HR. Abu Dawud dan An Nasa'i).
h. سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ (متفق عليه عن عمر بن أبى سلمة)
 Artinya :

     “Bacalah basmalah (jika akan makan /minum), makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat. (H.R. Bukhari no. 4957 dan Muslim no 3767 dari Umar bin Abu Salamah)

No comments:

Post a Comment