HADITS SHAHIH
A.
Pengertian
Hadits Shahih
a. Pengertian
Menurut Bahasa
Kata Shahih الصحيخ dalam bahasa
diartikan orang sehat, antonim dari kata as-saqim السقيم orang yang sakit. Jadi, yang
dimaksud hadits shahih adalah hadits yang sehat, bagus dan benar tidak terdapat
penyakit dan cacat, juga dapat dipertanggungjawabkan.
b.
Pengertian
Menurut Istilah
Merupakan suatu berita hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
adil, sempurna hafalannya, bersambung sanadnya, tidak ada cacat yang
tersembunyi, dan pengertiannya tidak janggal.
هو
ما اتصل سنده بنكل العدل الضابط ضبطا كاملا عن مثله وخلا ممن الشذوذ و العلة
“Hadits yang muttasil
(bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil dan dhobith(kuat daya
ingatan) sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan (syadz), dan cacat
(‘ilat).”
Adapun pengertian hadits shahih menurut beberapa ulama antara lain :
1.
Imam
As-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak ber’ilat”.
2.
Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu: apabila
diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal
sebagai orang yang jujur memahami hadits yang diriwayatkan dengan baik,
mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafazhnya, mampu meriwayatkan
hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits secara
lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Dan rangkaian
riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam. atau
dapat juga tidak sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam.
3.
Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria
hadits shahih sebagai berikut:
·
Rangkaian
perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perowi pertama sampai perowi
terakhir.
·
Para
perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti adil
dan dhobith,
·
Haditsnya
terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
·
Para
perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.
c.
Pengertian
Hadits Shahih (Kesimpulan Kelompok)
Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil, yang sanadnya
bersambung mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir (muttashil), para
perawi dikenal sebagai orang yang dhobith (hafalannya sempurna), terhindar dari
cacat dan pengertian janggal.
B. Syarat
Hadits Shahih
a.
Perawinya Adil
Maksudnya adalah
tiap-tiap perowi itu seorang Muslim, berstatus Mukallaf (baligh), bukan
fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
Dalam menilai keadilan
seorang periwayat cukup dilakuakan dengan salah satu teknik berikut:
·
Keterangan
seseorang atau beberapa ulama ahli ta’dil bahwa seorang itu bersifat
adil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab-kitab jarh wa at-ta’dil.
·
Ketenaran
seseorang bahwa ia bersifast adil, seperti imam empat Hanafi, Maliki,
Asy-Syafi’i, dan Hambali.
Khusus mengenai perawi
hadits pada tingkat sahabat, jumhur ulama sepakat bahwa seluruh sahabat adalah
adil. Pandangan berbeda datang dari golongan muktazilah yang menilai bahwa
sahabat yang terlibat dalam pembunuhan ‘Ali dianggap fasiq, dan periwayatannya
pun ditolak.
Seorang perawi dikatakan adil apabila memenuhi 5 unsur, yakni :
1.
Selalu
memelihara kepatuhan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Contohnya : menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya.
2.
Mampu
menjauhi dari perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar.
Contohnya antara lain: syirik, durhaka kepada kedua orang tua,
berbohong, berzina, dan lain-lain.
3.
Mampu
menjauhi dosa-dosa kecil.
Contohnya seperti: berkata kotor, ghibah (menggonjang-ganjing),
mencontek, jajan tanpa membayar (jajan nggabrul), dan lain-lain.
4.
Tidak
melakukan perbuatan mubah (boleh) karena berakibat terkikisnya keimanan, harga
diri, dan kehormatan.
Contoh : seorang mubaligh/ulama pada tengah malam “nongkrong” sambil “nge-HIK” di pinggir jalan, memakai sandal “selen”, kaos kaki diinjak “separo”.
Seorang perawi adil itu tidak mengikuti salah satu
mazhab/aliran/faham yang bertentangan dengan dasar-dasar syariat islam.
b. Perawinya Dhobit
Dari segi bahasa, kata dhabit memiliki
beberapa pengertian. Dalam kitab lisanul ‘Arab, Ibnu Mandzur
menjelaskan :
الظبط : لزوم شيئ لا يفرقه في كل شيئ
والظبط الشيئ خفظه
باالحزم
والرجل الظبط اي حا زم , شديد البطش
Sedangkan menurut Ibnu Hajar
al-Asqalaniy, dhabit dapat dimaknai dengan sesuainya sesuatu dan tidak
bertentangan dengan lainnya, mengingat sesuatu secara sempurna, kuat
pegangannya.
Maksudnya
masing-masing perowinya sempurna daya ingatannya, baik berupa kuat ingatan
dalam dada maupun dalam kitab (tulisan). Perawi tersebut mempunyai ingatan yang
lebih banyak daripada lupanya, dan benarnya lebih banyak daripada salahnya,
serta paham akan isi kandungannya.
Dhabith (akurasi), adalah kemampuan seorang rawi untuk menghafal hadits
dari gurunya, sehingga apabila ia mengajarkan hadits dari gurunya itu, ia akan
menga-jarkannya dalam bentuk sebagaimana yang telah dia dengar dari gurunya.
Dhobith dalam dada
ialah terpelihara periwayatan dalam ingatan, sejak ia manerima hadits sampai
meriwayatkannya kepada orang lain, sedang, dhobith dalam kitab ialah
terpeliharanya kebenaran suatu periwayatan melalui tulisan.
Adapun sifat-sifat kedhobitan perowi, menurut para ulama, dapat diketahui
melalui:
·
Kesaksian
para ulama
·
Berdasarkan
kesesuaian riwayatannya dengan riwayat dari orang lain yang telah dikenal
kedhobithannya.
Adapun
pengertian dhabit menurut istilah, telah dikemukakan oleh ulama dalam berbagai
format bahasa, antara lain sebagai berikut :
1.
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy dan al-Sahawiy yang disebut orang dhabit adalah
orang yang kuat hafalannya tentang apa-apa yang didengarnya dan mampu
menyampaikan hafalanya itu kapan saja dia menghendakinya.
2.
Dhabit adalah orang yang mendengarkan pembicaraan sebagaimana seharusnya, dia
memahami pembicaraan itu secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan
sungguh-sungguh dan dia berhasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu
menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain dengan baik.
3.
Dhabit ialah orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia
memahaminya dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia menghafalnya dengan
sempurna, dan dia meyakini kemampuan yang demikian itu, sedikitnya mulai dari
saat mendengar riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada
orang lain.
Dari
definisi di atas, kelihatannya memiliki versi dan format bahasa yang berbeda,
namun makna dan prinsip-prinsip pemahaman yang terkandung di dalamnya memiliki
kesamaan. Intinya adalah seorang perawi yang mempunyai kekuatan hafalan yang
sangat sempurna serta memahami isi kandungannya terhadap hadits-hadits yang
diterimanya, semenjak ia menerima hadits tersebut semasa masih menjadi murid
hingga menyampaikannya kepada orang lain yang jaraknya puluhan tahun.
Ulama
hadis umumnya tidak menerangkan argumen mendasar unsur kaedah periwayat
bersifat dhabit. Mereka umumnya hanya mengemukakan berkenaan dengan pengertian
Dhabit sebagai salah satu unsur kaedah kesahihan sanad hadits.
Macam Dhabit
Dhabit ini ada dua macam, yaitu;
1. Dhabith
shadr, yaitu kemampuan seorang rawi untuk menetapkan apa yang telah
didengarnya di dalam hati – maksudnya dapat menghafal dengan hafalan yang
sempurna- sehingga memungkinkan baginya untuk menyebutkan hadits itu kapanpun dan
dimanapun dikehendaki dalam bentuk persis seperti ketika ia mendengar dari
gurunya secara spontan tanpa harus mengingat-ingatnya terlebih dahulu.
2. Dhabith
kitab, yaitu terpelihara bukunya dari kesalahan, yang menjadi tempat
untuk mencatat hadits atau khabar yang telah didengarnya dari salah
seorang atau beberapa gurunya, dengan dikoreksikan dengan kitab
asli dari guru yang ia dengarkan haditsnya, atau diperbandingkan dengan
kitab-kitab yang terpercaya keshahihannya. Dan ia memelihara bukunya
dari tangan-tangan orang yang hendak merusak hadits-hadits di dalam kitab-kitab
lainnya.
Atau
dapat juga diartikan seorang
perawi yang mempunyai kekuatan hafalan yang sangat sempurna serta memahami isi
kandungannya terhadap hadits-hadits yang diterimanya, semenjak ia menerima
hadits tersebut semasa masih menjadi murid hingga menyampaikannya kepada orang
lain yang jaraknya puluhan tahun. Hanya saja, ketika dia menyampaikannya kepada
orang lain, dia menyerahkan buku hadits catatan pribadinya agar dapat dibaca, dipelajari,
difahami atau disalin oleh para muridnya.
KESIMPULAN
DLOBIT
Dari pengertian kedua dhabit di
atas, setelah dibandingkan satu sama lain dan dianalisa, maka penulis
berkesimpulan bahwa Perowi Dlabitus Shodri dan Perowi Dlabitul Kitab adalah
sama, artinya semenjak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain namun
dari segi penyampaian kepada orang lain, perowi dlabitus shodri masih berada
dibawah dlobitul kitab, karena dlabitus shodri hanya mengandalkan kemampuan
daya ingatnya saja. Sedangkan
dlabitul kitab selain mengandalkan daya ingatnya, beliau juga mengandalkan
ingatan dalam kitab tersebut, seperti letak hadits pada halaman berapa, dsb.
Contoh Dhabit
· Dlabitus
shodri: (dalam hafalan, tidak
bisa baca dan tulis).
· Dlobitul
kitab :
Qola muhtarom:
” kolo kula kelas kalih,kula kaliyan kakek kula klelegen kelereng
kalih karung; kula krejel – krejel, kakek kula krejot – krejot”.
c. Sanadnya
Muttashil
Pengertian sanad muttashil
Muttashil secara
bahasa berarti bersambung, sedangkan menurut istilah muhadditsin, muttashil
berarti hadits yang sanadnya bersambung dari setiap rawinya, baik sampai kepada
nabi atau sahabat. Hadits muttashil adalah hadits yang didengar oleh
masing-masing rawinya dari rawi yang diatasnya sampai ke ujung sanadnya.
Maksudnya adalah
tiap-tiap perowi dari perowi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari
orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
Untuk mengetahui
dan bersambungnya dan tidaknya suatu sanad, biasanya ulama’ hadis menempuh tata
kerja sebagai berikut;
·
Mencatat
semua periwayat yang diteliti
·
Mempelajari
hidup masing-masing periwayat
·
Meneliti
kata-kata yang berhubungan antara para periwayat dengan periwayat
yang terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang
terpakai berupa haddasani, haddasani, akhbarana, akhbarani, ‘an,anna, atau
kasta-kata lainnya.
Contoh hadits bersanad muttashil :
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ، وَالْكَسَلِ،
وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia
berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat
pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah
(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab
di neraka.”
a. Hadits
itu tidak ber’illat (cacat)
Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya
sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadits,
sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat
terjadi pada sanad maupun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti
menyebutkan muttasil terhadap hadits yang munqati’ atau mursal.
b. Tidak
Syadz
Maksudnya ialah hadits itu benar-benar tidak
syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan
lainnya.
Menurut asy-Syafi’i,
suatu hadits tidak dinyatakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadits itu
hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang
tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Artinya, suatu hadis dinyatakan
syudzudz, bila hadisd yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tsiqah
tersebut bertentengan dengan hadits yang dirirwayatkan oleh banyak periwayat
yang juga bersifat tsiqah.
Syadz secara bahasa berarti yang tersendiri, secara istilah berarti hadits
yang diriwayatkan oleh seorang periwayat bertentangan dengan hadits dari
periwayat lain yang lebih kuat darinya. Tentang hadits syadz secara
terperinci, akan dibahas pada bagian tersendiri, Insya Allah.
A. Macam Hadits Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam:
a. Shahih li Dzatihi, yaitu hadis yang mencakup semua
syarat-syarat atau sifat-sifat hadis maqbul secara sempurna, dinamakan “shahih
li Dzatihi” karena telah memenuhi semua syarat shahih (sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang yang adil,
dhabitnya sempurna, tidak ada syadz dan ilat yang tercela) dan tidak butuh
dengan riwayat yang lain untuk sampai pada puncak keshahihan, keshahihannya
telah tercapai dengan sendirinya. Untuk lebih jelasnya, berikut contoh hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari:
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ الْقَعْقَاعِ
بْنِ شُبْرُمَةَ ، عَنْ أَبِي زُرْعَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهُ
عَنْهُ ، قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ
صَحَابَتِي ؟ قَالَ : أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ :
ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ : ثُمَّ أُمُّكَ . قَالَ : ثُمَّ مَنْ
؟ قَالَ : ثُمَّ أَبُوك
Artinya :
Diceritakan oleh Qutaibah bin Said,
diceritakan oleh Jarir, dari Umar bin Qa’qa’i bin Syubramah, dari Abu Zur’ah,
dari Abu Hurairah RA berkata : datang seorang laki-laki bertanya kepada
Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah,
siapakah yang paling berhak aku perlakukan dengan baik?” Rasul
menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia
bertanya lagi, “Kemudian siapa?”,
Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab, “Ibumu.” Kemudian ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”, Rasul menjawab, “Ayahmu.”
Hadis yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah diatas, adalah salah satu hadis shahih yang tidak terdapat ke-syaz-an
maupun illat.
Contoh lain
:
بُنِىَ
اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَ إِقَامِ الصَّلاَةِ وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَ الْحَجِّ وَ صَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya :
Rasulullah
SAW bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara. Syahadat bahwa tidak
ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan
zakat, berhajji dan puasa bulan Ramadhan.” ( H.R Imam Bukhari Muslim)
b. Shahih li ghairihi, yaitu
hadis hasan li dzatihi (tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat
tertinggi hadis maqbul), yang diriwayatkan melalui sanad yang lain yang sama
atau lebih kuat darinya, dinamakan hadis shahih li ghairihi karena
predikat keshahihannya diraih melalui sanad pendukung yang lain. Berikut contoh
hadis shahih li ghairihi yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ
عَمْرٍو ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْلا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي
لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاة.
Artinya :
Diceritakan oleh Abu Kurib, diceritakan oleh Abdah bin
Sulaiman, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah RA
berkata, bahwasannya Rasulullah SAW bersabda
: “Seandainya aku tidak menyusahkan ummatku, pastilah aku
perintahkan mereka untuk menggosok gigi tiap akan shalat” (HR Bukhari Tirmidzy)
Hadis
tersebut dinilai oleh muhaddisin sebagai hadis shahih li ghairihi
sebagaimana dijelaskan diatas. Pada sanad hadis tersebut, terdapat Muhammad bin
‘Amr yang dikenal orang jujur, akan tetapi kedhabitannya kurang sempurna,
sehingga hadis riwayatnya hanya sampai ke tingkat hasan. Namun keshahihan hadis
tersebut didukung oleh adanya hadis lain, yang lebih tinggi derajatnya
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’raj dari Abu
Hurairah (pada contoh hadis shahih li dzatihi).
Dari sini
dapat kita ketahui bahwa martabat hadis shahih ini tergantung kepada ke-dhabit-an
dan ke-adil-an para perawinya. Semakin dhabit dan semakin adil si
perawi, makin tinggi pula tingkatan kualitas hadis yang diriwayatkannya.yang
diistilah oleh para muhaddisin sebagai ashahhul asanid.
Ashahhul
Asanid, yaitu
rangkaian sanad yang paling tinggi derajatnya, al-Khatib mengemukakan, bahwa
dikalangan ulama terdapat perbedaan pendapat mengenai ashahhul asanid,
ada yang mengatakan:
1) Riwayat
Ibn Syihab az-Zuhry dari Salim Ibn Abdillah ibn Umar dari Ibn Umar.
2) Sebagian
lagi mengatakan: ashahhul asanid adalah riwayat Sulaiman al-A’masy dari
Ibrahim an-Nakha’iy dari Alqamah Ibn Qais dari Abdullah ibn Mas’ud.
3) Imam
Bukhari dan yang lain mengatakan, ashahhul asanid adalah riwayat imam
Malik ibn Anas dari Nafi’ maula Ibn Umar dari ibn Umar. Dan karena imam
Syafi’i merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan hadis dari Imam
Malik dan Imam Ahmad merupakan orang yang paling utama yang meriwayatkan dari
Imam Syafi’i, maka sebagian ulama muta’akhirin cenderung menilai bahwa ashahhul
asanid adalah riwayat Imam Ahmad dari Imam Syafi’i dari Imam Malik dari
Nafi’ dari Ibn Umar r.a. inilah yang disebut silsilah ad-dzahab (mata
rantai emas).
B. Tingkatan Hadits Shahih
Hadits shahih, menurut ulama Hadits, memiliki
beberapa tingkatan, yang satu tingkat lebih shahih dibandingkan tingkat di
bawahnya. Dilihat dari kitab-kitab yang mengeluarkan Hadits-Hadits shahih
tersebut, Hadits shahih terbagi menjadi 7 tingkat, sebagai berikut:
1.
Hadits shahih yang disepakati/dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Ini
adalah tingkatan Hadits yang paling tinggi.
2.
Hadits shahih yang
dikeluarkan oleh al-Bukhari, namun tidak dikeluarkan oleh Muslim.
3.
Hadits shahih yang dikeluarkan oleh Muslim, namun tidak dikeluarkan oleh
al-Bukhari.
4.
Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim, namun mereka
berdua tidak mengeluarkannya.
5.
Hadits shahih yang sesuai dengan syarat al-Bukhari saja, namun beliau tidak
mengeluarkannya.
6.
Hadits shahih yang sesuai dengan syarat Muslim saja, namun beliau tidak mengeluarkannya.
7.
Hadits yang dishahihkan oleh imam-imam ahli
Hadits selain al-Bukhari dan Muslim, yang tidak memenuhi syarat al-Bukhari dan
Muslim, atau salah satu di antara keduanya.
Ini berarti bahwa si pentakhrij tidak mengambil hadits dari rawi-rawi, guru-guru
Bukhari Muslim, yang telah beliau sepakati bersama/yang masih diperselisihkan.
Tetapi hadits yang ditakhrijkan tersebut dishahihkan oleh Imam hadits kenamaan.
Misalnya hadits yang terdapat di shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, dan
Shahih Al-Hakim. Ini adalah tingkatan Hadits shahih yang paling rendah.
Keterangan:
Sebenarnya al-Bukhari
dan Muslim tidak secara eksplisit menyebutkan syarat-syarat hadits shahih versi
mereka. Syarat-syarat tersebut ditemukan oleh para ulama peneliti hadits al-Bukhari
dan Muslim berdasarkan pengkajian, penelusuran dan penelaahan terhadap uslub-uslub
yang digunakan oleh mereka berdua.
Menurut Dr. Mahmud
ath-Thahhan, yang dimaksud dengan syarat Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) atau
salah satu di antara keduanya adalah ditinjau dari para perawi yang
meriwayatkan hadits di dua kitab tersebut atau salah satunya serta tata cara
yang diambil oleh Syaikhan dalam meriwayatkan hadits dari para perawi tersebut.
Tingkatan Para Perawi
1. Di antara mereka Ats-Tsabt (yang teguh),
Al-Hafizh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang saleh),
Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadits).
Yang mendapat predikat demikian ini tidak lagi diperselisihkan, dan dijadikan
pegangan atas Jahr dan Ta’dil-nya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat
dijadikan sebagai hujjah.
2. Di antara mereka ada yang memiliki sifat Al-’Adl
dalam dirinya, tsabt teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam
penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafizh dan mutqin pada haditsnya. Demikian
itu adalah perawi yang ‘adil yang bisa dijadikan hujjah dengan haditsnya, dan
dipercaya pribadinya.
3. Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, shaleh dan
bertaqwa, tsabt namun terkadang salah periwayatannya. Para ulama yang peneliti
hadits masih menerimanya dan dapat dijadikan sebagai hujjah haditsnya.
4. Di antara mereka ada yang shaduq, wara’, bertaqwa
namun seringkali lalai, ragu, salah, dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis
haditsnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman),
kezuhudan, dan adab, sedangkan dalam masalah halal dan haram tidak boleh
berhujjah dengan haditsnya.
5. Adapun orang yang nampak darinya kebohongan maka
haditsnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang.
C. Kedudukan Hadits
Shahih
Hadits
yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujah atau
dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadis dan sebagian ulama ushul dan fikih.
Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian
besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadis
mutawatir. Oleh
karena itu, hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan aqidah.
Mengenai
kehujjahan hadis shahih, dikalangan ulama tidak ada perbedaan tentang kekuatan
hukumnya, terutama dalam menentukan halal dan haram (status hukum) sesuatu. Hal
ini didasarkan pada firman Allah, (Q.S al-Hasyr : 59) :
"apa yang diberikan Rasul kepadamu,
Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya".
D. Kitab-kitab
yang memuat Hadis Shahih
Manna’ Khalil al-Qatthan dalam Mabahits Fi ‘Ulum al-Hadis, mengemukakan
bahwa diantara kitab-kitab yang memuat hadis shahih adalah
a. Shahih
Bukhari
d. Shahih Ibn Hibban
b. Shahih
Muslim
e. Shahih Ibn Khuzaimah
c. Mustadrak al-Hakim
Sedangkan menurut Ajjaj al-Khatib bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis
shahih adalah:
a.
Shahih
Bukhari
e. Sunan an-Nasa’i
b.
Shahih
Muslim
f. Sunan Ibn Majah
c.
Sunan Abu
Daud
g. Musnad Ahmad ibn Hanbal
d.
Sunan at-Tirmidzi
Nuruddin ‘Itr didalam kitabnya Manhaj an-Naqd Fi ‘Ulum al-Hadis mengemukakan
bahwa kitab-kitab yang memuat hadis-hadis shahih antara lain:
a. al-Muwattha’
b. Shahih
Bukhari
c. Shahih Muslim
d. Shahih Ibn Khuzaimah
e. Shahih Ibn Hibban
f. Al-Mukhtarah
G.
Contoh Hadits Shahih
a. Dari Abi Abdurrahman
Abdillah bin Umar bin Khattab ra. berkata: Aku telah mendengar Rasulullah saw
bersabda: "Bangunan Islam itu atas
lima perkara Mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya
Muhammad itu Utusan Allah, Mendirikan Shalat, Mengeluarkan Zakat, Mengerjakan
Haji ke Baitullah dan Puasa bulan Ramadhan." (Bukhari - Muslim)
b. Dari
Abi Hamzah Anas bin Malik ra. pelayan Rasulullah saw dari Nabi saw telah
berkata: "Tidak sempurna iman
seseorang diantaramu hingga mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya
sendiri." (Bukhari - Muslim)
c. Dari
Ibni Mas'ud ra. telah berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: "Tidak halal darah seorang muslim
kecuali disebabkan salah satu dari tiga perkara: Duda/janda yang berzina,
Pembunuhan dibalas bunuh, Orang meninggalkan agamanya, memisahkan diri dari
jama'ah (murtad)." (Bukhari - Muslim)
d. Dari
Abu Musa (Abdullah) bin Qais al-asy'ary r.a. berkata: Rasulullah saw ditanya
mengenai orang-orang yang berperang karena keberanian, karena kebangsaan atau
karena kedudukan manakah diantara semua itu yang disebut fisabilillah?
Rasulullah saw menjawab, "Siapa yang
berperang semata-mata untuk menegakkan kalimatullah (agama Allah) maka itulah
fisabilillah." (Bukhari - Muslim)
e. Dari
Abu Bakrah (Nufa'i) bin al Harits ats Tsaqafy berkata: Rasulullah saw bersabda,
"Apabila dua orang Muslim berhadapan dengan pedang masing-masing maka
pembunuh dan terbunuh keduanya sama-sama masuk neraka. Abu Bakrah bertanya,
"Ya Rasulullah, yang membunuh jelas masuk neraka tetapi mengapa yang
terbunuh juga demikian? Rasulullah saw menjawab, "Karena ia juga memiliki
niat sungguh-sungguh akan membunuh lawannya." (Bukhari - Muslim)
f. Hadits
yang diriwayatkan oleh Al Bukhari di dalam kitab Shahih-nya jilid 4
halaman18, Kitab Al Jihad wa As Siyar, Bab Ma Ya’udzu min Al Jubni;
حَدَّثَنَا
مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي قَالَ:سَمِعْتُ أَنَسَ
بْنَ مَالِكٍ رَضِي اللَّه عَنْهم، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْعَجْزِ،
وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ، وَالْهَرَمِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ
الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Mu’tamir, ia
berkata; Aku mendengar ayahku berkata; Aku mendengar Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdo’a; “Ya
Allah, aku memohon kepada-Mu perlindungan dari kelemahan, kemalasan, sifat
pengecut dan dari kepikunan, dan aku memohon kepada-Mu perlindungan dari fitnah
(ujian) di masa hidup dan mati, dan memohon kepada-Mu perlindungan dari adzab
di neraka.”
g. Contoh :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَ ْلإِسْبَالُ فِى اْلإِزَارِ
وَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَامَةِ, مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ
إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه ابو داود والنسائى)
Artinya:
"Diriwayatkan dari
Ibnu 'Umar r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda: Memanjangkan kain, gamis, dan
sorban ke bawah hingga menyentuh tanah, orang yang memanjangkan semua itu
karena sombong, Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari kiamat". (HR. Abu Dawud dan An Nasa'i).
h. سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ (متفق عليه عن عمر
بن أبى سلمة)
Artinya :
“Bacalah
basmalah (jika akan makan /minum), makanlah
dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat.” (H.R. Bukhari no. 4957 dan Muslim no 3767 dari Umar
bin Abu Salamah)
No comments:
Post a Comment